


ASEAN's Integerated Sector


AEC 2015: Siapkah Indonesia?
Kesehatan sebagai modal menghadapi AEC sekaligus pasar bagi masyarakat ASEAN.
Oleh: Riska Saptiana
Keberlangsungan ASEAN Economic Community (AEC) di akhir tahun 2015 ini sudah ada di depan mata. Indonesia sebagai salah satu negara peserta perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing secara keseluruhan di dalamnya. Pentingnya kesehatan membuat banyak pihak sadar bahwa diperlukan pembangunan dibidang kesehatan. Kebanyakan dari negara ASEAN sendiri telah mengalokasikan dana APBN yang cukup besar untuk sektor kesehatan. Seperti yang tercatat dalam WHO bahwa pertumbuhan alokasi dana untuk kesehatan negara ASEAN dari tahun 2010-2012 meningkat sebesar 37,3%. Hal ini didorong pula dengan pertumbuhan masyarakat ASEAN yang semakin meningkat. Jumlah ini dinilai cukup besar dan lebih besar dibandingkan dengan negara benua lainnya.
Hal ini dapat menjadi suatu potensi untuk negara ASEAN dengan memanfaatkan sektor kesehatan untuk bersaing secara global. Dari segi ekonomi, potensi ini akan berdampak pada jasa pelayanan kesehatan, perusahaan obat-obatan, dan perusahaan asuransi kesehatan. Akan tetapi, walaupun AEC merupakan suatu kerjasama untuk berintegrasi untuk menghadapi pasar global, Indonesia sendiri harus berhati-hati untuk bersaing dengan sesama negara ASEAN. Bagaimanakah kesiapan Indonesia dari segi kesehatan dibandingkan negara lainnya?
Di tahun 2012, WHO mencatat bahwa Pemerintah Indonesia mampu untuk mengeluarkan biaya untuk kesehatan bagi setiap penduduknya sebesar 108 USD/tahun atau sekitar Rp 1,2 juta/tahun. Jumlah ini meningkat di tahun 2015 menjadi sekitar 150 USD/tahun. Akan tetapi, sebagai negara terpadat di ASEAN, jumlah ini tidak terlalu menarik sebab negara Singapur, Malaysia, dan Thailand masih memiliki nilai yang jauh lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia belum mampu untuk membiayai masyarakat Indonesia seperti negara ASEAN lainnya. Hal tersebut terbukti dengan kurangnya pelayanan kesehatan di Indonesia yang terlihat dari kurangnya infrastuktur kesehatan dan tenaga medis. Kurangnya kemampuan pemerintah tersebut seharusnya memberi keuntungan bagi sektor privat. Akan tetapi, sektor privat sendiri belom dapat memberikan pelayanan yang terbaik sebab tidak jarang masyarakat Indonesia yang harus ke luar negeri untuk berobat (medical tourism).
Source: “Overview of the development of Malaysia Healthcare towards Medical Tourism”, Dr Mary Wong Lai Lin, CEO of Malaysia Healthcare Tourism Council, 2012
Tercatat bahwa setiap tahunnya sekitar 1.2 juta masyarakat Indonesia pergi berobat ke luar negeri seperti Singapur, Malaysia, dan negara lainnya yang dianggap memiliki pelayanan kesehatan yang lebih baik. Bahkan, 57% medical tourists negara Malaysia merupakan orang Indonesia yang mendatangkan pendapatan sekitar 1 juta USD pada tahun 2013 dan meningkat sekitar 30%/tahun. Tentunya hal ini akan menguntungkan bagi negara Malaysia yang dapat mengalihkan pendapatan Indonesia di sektor kesehatan sebesar tersebut. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi target pasar yang menggiurkan bagi negara ASEAN yang memiliki sistem pelayanan kesehatan yang lebih efisian seperti Singapura dan Malaysia dan Indonesia sendiri dapat merugi karena adanya outflow pendapatan yang cukup besar.
Kondisi kesehatan masyarakat Indonesia sendiri setiap tahunnya mengalami peningkatan. Hal tersebut terbukti dari data hasil publikasi statistik ASEAN yang menyatakan bahwa angka kematian bayi, ibu melahirkan, dan gizi kurang menurun serta angka harapan hidup meningkat. Dengan demikian, nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia juga mengalami peningkatan. Akan tetapi, peningkatan skor tersebut tidak signifikan sehingga tidak terlalu berpengaruh pada posisi Indonesia di negara ASEAN. Lagi-lagi Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.
Kurangnya infrastruktur kesehatan menjadi salah satu hal yang mengakibatkan lambatnya pertumbuhan kesehatan. Permasalahan besar selain kurang memadainya infrastruktur adalah kurang meratanya distribusi. Hal ini mengakibatkan masyarakat yang berada di pelosok daerah tidak dapat menikmati pelayanan kesehatan yang memadai yang sekaligus berimplikasi pada para pekerja di daerah juga tidak dapat mmenikmati haknya secara maksimal (K3) karena tidak tersedianya pelayanan kesehatan yang memadai. Kurangnya tenaga kerja medis seperti dokter dan suster serta kurang merata pendistribusiannya juga menjadi salah satu penghambat. Data WHO 2012 menyebutkan bahwa Indonesia hanya memiliki 2 dokter per 10.000 penduduk. Jumlah ini kalah jauh dengan Malaysia yang memiliki 12 dokter per 10.000 penduduk. Jumlah yang sangat terbatas tersebut tentunya akan menghambat pelayanan kesehatan yang akan berimplikasi pada tenaga kerja Indonesia yaitu modal para pekerja, yaitu kesehatan, akan menjadi berkurang. Lalu, apa implikasinya terhadap keberlangsungan AEC?
Kesehatan dipercaya sebagai modal untuk menjadi pekerja yang produktif. Dengan adanya AEC, maka ajang persaingan akan menjadi semakin ketat. Bagaimana masyarakat Indonesia bisa produktif jika mereka tidak memiliki modal memadai yang dalam hal ini adalah kesehatan. Selain itu, dengan terbukanya arus barang dan jasa, tentunya arus perpindahan masyarakat akan semakin lebih mudah. Di saat Indonesia tidak dapat memfasilitasi masyarakatnya dengan baik dan terdapat potensi di negara lain, maka akan ada potensi para pekerja pindah bekerja di negara lain. Indonesia hanya akan menjadi target pasar, bukan pelaku pasar. Hal yang dikenal dengan istilah brain drain ini tentunya akan sangat merugikan bagi Indonesia. Lalu, apakah keberadaan AEC hanya akan merugikan Indonesia?
Sekali lagi diungkapkan bahwa adanya AEC maka arus barang dan jasa akan terbuka lebar. Tentunya Indonesia dapat menerima tenaga profesional dan segala teknologi yang lebih memadai (knowladge and technology trasfer) sehingga dapat mendorong kualitas pelayanan dalam negeri menjadi lebih baik sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia menjadi tujuan dari medical tourism.
Apa yang harus dilakukan Indonesia?
Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, tentunya Indonesia tidak akan mampu untuk bersaing dalam pasar AEC. Akan tetapi, tidak ada kata terlambat bagi Indonesia untuk mengejar segala ketertinggalan yang ada. Pemerintah perlu untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dari segi infrastruktur dan tenaga medis. Hal ini menjadi sangat penting agar kualitas pelayanan dapat meningkat sehingga Indonesia mampu menjadi "tuan rumah" yang baik bagi para pekerja asing. Dengan demikian, Indonesia mampu untuk menjadi pelaku pasar yang kompetitif, bukan hanya target pasar karena Indonesia menjadi negara tujuan negara asing. Selain itu, diharapkan pelayanan kesehatan tersebut dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam negeri sehingga pendapatan dalam negeri tidak harus beralih ke luar negeri. Hal tersebut juga diperuntukkan bagi sektor privat yang memiliki potensi yang lebih besar dalam menyediakan jasa kesehatan.
Referensi:
http://www.edelman.id/medical-tourism-in-southeast-asia-indonesias-opportunity-cost



